Sunday, December 4, 2011

Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Korban Malpraktek Selaku Konsumen (III)


MK       : Hukum Perlindungan Konsumen
Dosen : A.A.A Ngr. Sri Rahayu G, S.H., M.M, M.H.
BAB III
PEMBAHASAN

A.   Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Korban Malpraktek Selaku Konsumen Dalam Peraturan Perundang-undangan.

1.  Pengertian Malpraktek didalam Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan meskipun telah dicabut dengan keluarnya UU No.23 Tahun 1992, dan diperbarui lagi dengan UU No.36 Tahun 2009, tetapi esensinya secara implisit masih dapat digunakan, yakni bahwa malpraktek terjadi apabila pertugas kesehatan:
a.    Melalaikan kewajibannya.
b.    Melakukan satu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatan maupun profesinya.
Bertitik dari dua butir kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila petugas kesehatan melalaikan kewajiban yang berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan (butir a) dan petugas kesehatan melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan (butir b). Apabila petugas kesehatan apapun jenisnya termasuk dokter dan dokter gigi bertindak seperti itu dapat dikatakan malapraktik.
Melakukan kelalaian bagi petugas kesehatan dalam melakukan tugas atau profesinya adalah sebenarnya tidak melanggar hukum atau kejahatan, kalau kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Dalam hukum, prinsip ini disebut “De minimis noncurat lex” yang artinya hukum tidak mencampuri hal-hal yang kecil. Petugas yang melakukan kelalaian yang seperti ini, meskipun tidak melanggar hukum, tetapu melanggar etika.
Namun demikian, apabila kelalaian seorang tenaga kesehatan sehingga menyebabkan orang lain menderita kerugian atau decera, cacat atau meninggal dunia berarti juga melanggar hukum dan melanggar etika.
Kelalaian petugas kesehaatan yang menyebabkan kerugian, cedera atau cacat, da sebagainya bagi orang lain diklasifikasikan sebagai kelalaian berat atau “culpa lata” atau serius, dan disebut tindakan kriminal.
Kriteria yang digunakan apakah kelalaian petugas kesehatan sudah memenuhi kelalaian berat menurut Yusuf Hanafiah dan Amri dalam Soekidjo Notoatmodjo, adalah sebagai berikut:
a.    Bertentangan dengan hukum.
b.    Akibatnya dapat dibayangkan.
c.    Akibatnya dapat dihindarkan
d.    Perbuatannya dapat dipersalahkan.

2.  Hak dan Kewajiban Para Pihak (Pasien dan Dokter)
a.    Hak dan Kewajiban Pasien
Hak dan kewajiban dari pasien sebenarnya merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia, termasuk dalam hak-hak masyarakat sebagai sasaran pelayanan kesehatan. Selain itu, di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) telah dirumuskan ketentuan tentang hak-hak pasien, diantaranya adalah hak memperoleh pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standra profesi kedokteran; hak memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi yang direncanakan, bahkan dapat menarik diri dari kontrak terapetik; hak memperoleh penjelasan tentang perincian biaya rawat inap, obat, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Rontgen, dan sebagainya; hak kerahasian dan rekam medis atas hak pribadi, dan lain sebagainya. Dari hak-hak tersebut, hak asasi pasien yang paling utama adalah hak-hak memperoleh penjelasan informasi hingga dalam tindakan-tindakan khusus diperlukan persetujian tindakan medis yang ditandatangani oleh pasien dan atau keluarga pasien.
Tidak dapat disangkal bahwa dalam hubungan anatara dokter dengan pasien, maka dokter mempunyai posisi yang dominan dibanding dengan posisi pasien atau keluarga pasien. Hal ini dapat dimaklumi karena tenaga kesehatan, utamanya dokterlah yang mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, sehingga secara psikologis menempatkan posisi dokter menjadi lebih tinggi. Namun demikian, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pula masyarakat atau pasien terutama di kota-kota besar telah memperoleh akses yang tinggi terhadap informasi-informasi tentang kesehatan, terutama kedokteran. Hal inilah yang menyebabkan meningkatnya hak-hak pasien atas proses penyembuhan yang dilakukan.
Menurut Yusuf Hanafiah dan Amri Amir dalam Soekidjo Notoatmodjo bahwa dalam memberikan informasi tentang kesehatan atau yang terkait dengan penyakit yang dideritan pasien dapat berpegang  pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a)    Informasi yang diberikan haruslah dikemas dalam bahasa yang sederhana, dan mudah dipahami semua pasien.
b)    Pasien harus dapat memperoleh informasi tentang penyakitnya, tindakan-tindakan yang diambil, kemungkinan komplikasi dan resikonya.
c)    Untuk anak-anak dan pasien penyakit jiwa, maka informasi diberikan kepada orang tua atau walinya.
b.    Hak dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
Kewajiban tenaga kesehatan adalah mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien sedangkan hak tenaga kesehatan adalah memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
Sedangkan ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen maka hak dan kewajiban pasien dan dokter sesuai dengan yang diatur dalam pasal 4 hingga 7 tentang hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

3.    UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Didalam UU Kesehatan tidak dicantumkan pengertian tentang Malpraktek, namun didalam Ketentuan Pidana pada Bab XX diatur didalam Pasal 190 yang berbunyi:
(1)  Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
(2)  Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.
Pasal 32 UU Kesehatan menyebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan  kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu dan dilarang untuk menorlak pasien dan/atau meminta uang muka.
Melihat ketentuan dari pasal diatas, maka dapat kita lihat bahwa hak pasien sebagai konsumen telah dilindungi dalam kaitannya dengan
4.    UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Dalam UU No.29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran,  tidak dijelaskan mengenai praktek dokter yang dapat dikategorikan sebagai malpraktek. Pada pasal 66 mengatur mengenai pengaduan bahwa setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Indonesia. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

B.   Akibat Hukum kesalahan dan Kelalaian Dalam Pelayanan Kesehatan[i]
1.  Tanggung Jawab Hukum dan Etik dalam Pelayanan Kesehatan
Jika ditinjau dari segi etika profesi, dengan memilih profesi di bidang tenaga kesehatan saja, berarti sudah diisyaratkan adanya kecermatan yang tinggi, demikian juga dengan berbagai ketentuan khusus yang berlaku bagi seorang dokter. Berarti dengan tidak mematuhi peraturan itu saja sudah dianggap telah berbuat kesalahan.
Dilihat dari sudut hukum, kesalahan yang diperbuat oleh seorang dokter meliputi beberapa aspek hukum, yaitu aspek hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi negara.  Ketiga aspek hukum ini saling berkaitan satu sama lain. Jadi, untuk dapat menyatakan bahwa seorang dokter telah melakukan suatu kesalahan, penilaiannya harus dilihat dari transaksi terapeutik terlebih dahulu. Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.
2.  Tanggung Jawab Perdata dalam Pelayanan Kesehatan
Dengan adanya perjanjian terapeutik maka kedudukan antara dokter-pasien adalah sederajat, dengan posisi yang demikian ini hukum menempatkan keduanya memiliki tanggung gugat hukum. Oleh karena itu pasien dapat menggugat dokter apabila merasa dirugikan.
Gugatan untuk meminta pertanggungjawaban dokter bersumber pada dua dasar, yaitu:
a.    Berdasarkan pada wanprestasi sebagaimana diatur dalam pasal 1239 KUHPerdata;
b.    Berdasarkan perbuatan melanggar hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
Wanprestasi dalam pelayanan kesehatan baru terjadi bila telah terpenuhi unsur-unsur berikut ini:
a.    Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik.
b.    Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutik.
c.    Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.
Sedangkan untuk mengajukan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum, harus dipenuhi empat syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata:
a.    Pasien harus mengalami suatu kerugian
b.    Ada kesalahan
c.    Ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian
d.    Perbuatan itu melawan hukum
Dalam kaitannya dengan UU Perlindungan Konsumen maka sejalan dengan hak konsumen untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
3.  Tanggung Jawab Pidana dalam Pelayanan Kesehatan
Menurut C.Berkhouwer dan D.Vortman seorang dokter dapat dikatakan melakukan kesalahan profesional, apabila dia tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang akan diperiksa, dinilai, diperbuat atau ditinggalkan oleh para dokter pada umumnya di dalam situasi yang sama. Dari rumusan ini terlihat bahwa unsur kehati-hatian dalam melaksanakan profesi kesehatan sangat penting.
Tanggung jawab pidana ini berkaitan erat dengan unsur kesalahan yang dilakukan tenaga kesehatan berhubungan dengan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang terikat didalam transaksi terapeutik, yaitu pasien dan dokter, meliputi:
a.    Masalah informasi yang diterima oleh pasien sebelum dia memberikan persetujuan untuk menerima perawatan
b.    Masalah persetujuan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan.
c.    Masalah kehati-hatian dokter atau tenaga kesehatan yang melaksanakan perawatan yang berhubungan dengan kealpaan dan standar pelayanan medis.
Standar profesi medis yang timbul karena kealpaan yang berbentuk: kewajiban; pelanggaran kewajiban, penyebab dan kerugian.
Dalam kaitannya dengan hak konsumen yang dilanggar sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.  Tanggung Jawab Administrasi
Aspek hukum administrasi dinilai dari sudut kewenangan, yaitu apakah dokter yang bersangkutan berwenang atau tidak melakukan perawatan? Jadi, dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan pekerjaan dokter diperlukan berbagai persyaratan.
Kesalahan seorang dokter dalam perawatan yang menimbulkan kerugian bagi pasien atau keluarganya, selain mengadung tanggung gugat perdata dan pertanggungjawaban pidana juga mengandung pertanggungjawaban di bidang hukum administrasi. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 54 ayat (1) UU Kesehatan yang mengatakan bahwa terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian atau kesalahan dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin, misalnya pencabutan ijin untuk jangka waktu tertentu.

C.   Pelayanan Kesehatan Selaku Pelaku Usaha
Menurut Zumrotin K.S dalam Yusuf Shopie, institusi pelayanan publik harus mampu memberikan pelayanan yang cepat, tepat, pasti, nyaman, memiliki sikap keterbukaan, tidak reaktif dan defensif, serta bersikap jujur mengakui apabila memang ada kekurangan-kekurangannya. Dipenuhinya kriteria ini akan menimbulkan simpati dan penghargaan dari masyarakat konsumen.[ii]
Institusi rumah sakit atau pemberi jasa pelayanan kesehatan lainnya sangat mungkin memiliki perbedaan dengan komoditas barang dan/atau jasa lainnya dimana pada komoditas barang dan/atau jasa lainnya diterapkan berbagai konsep metode pemasaran yang membawa konsekuensi yang berbeda pada para konsumennya.
Pada institusi rumah sakit/pemberi pelayanan  kesehatan, masih menjadi persoalan etis boleh tidaknya institusi tersebut/pemberi pelayanan kesehatan menerapkan berbagai konsep metode pemasaran atas berbagai produk pelayanan jasa kesehatan yang diberikannya. Sementara itu, menurut Pasal 4 butir c UU Perlindungan Konsumen bahwa: “Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.”
Dalam kerangka sistem perlindungan konsumen yang telah dikedepankan UUPK dimana UUPK merupakan undang-undang payung, jasa pelayanan kesehatan termasuk dalam kategori jasa sebagaimana dimaksud Pasal 1 butir 5 UUPK. Bahkan UUPK sendiri tidak meniadakan UU Kesehatan. Menurut sistem UUPK, UUK sendiri merupakan salah satu undang-undang yang materinya juga melindungi kepentingan konsumen. Dengan konstruksi Pasal 64 aturan peralihan UUPK dapat dipahami secara implisit bahwa UUPK merupakan ketentuan khusus terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UUPK, sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali. Artinya ketentuan-ketentuan diluar UUPK tetap berlaku sepanjang tidak diatur seara khusus dalam UUPK dan/atau tidak bertentangan dengan UUPK. Melalui ketentuan peralihan ini, UUK tetap berlaku sepanjang UUPK tidak menentukan lain.
Ada tanggungjawab hukum pemberi pelayanan kesehatan untuk menginformasikan kepada konsumen paket-paket pemeliharaan kesehatan apa saja yang disediakan.

D.   Upaya Hukum Yang dapat diambil Pasien Selaku Korban Malpraktek dalam kaitannya dengan harapan serta keluhan pasien selaku konsumen serta kendala yang dihadapi
Harapan konsumen sebagai pasien adalah sebagai berikut:[iii]
a.    Reliability (kehandalan) : pemberian pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan.
b.    Responsiveness (daya tanggap) : membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan unsur SARA (Suku, Agama, Ras, Golongan) pasien.
c.    Assurance (jaminan) : jaminan keamanan, keselamatan, kenyamanan
d.    Emphaty (empati) : komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan konsumen / pasien.
Marius Widjajarta, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), mengemukakan bahwa dari 149 kasus yang masuk ke YPKKI, sebanyak 75% korban malpraktek adalah tenaga medis sendiri, baik dokter, perawat dan lainnya.[iv]
Sebagaimana kerap diungkapkan oleh kalangan dokter, hubungan dokter-pasien atau rumah sakit-pasien tidak sama dengan hubungan antara produsen/pelaku usaha-konsumen. Oleh sebab itu, kalangan dokter ataupun rumah sakit menolak keras pemberlakuan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di bidang pelayanan kesehatan.
Ketua Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit PP Persi Imam Hilman mengatakan bahwa:"Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, tidak selayaknya diberlakukan di bidang pelayanan kesehatan mengingat UU ini dibuat untuk mengatur hubungan antara pengusaha dan pembeli/penerima jasa, yang hubungan yuridisnya dikenal sebagai resultaatverbintenis. Sementara hubungan dokter-pasien atau rumah sakit-pasien merupakan hubungan inspanningsverbintenis,"[v]
Menurut konsep tersebut, secara yuridis penilaian atas tindakan dokter bukanlah berdasarkan hasil (resultaatverbintenis), tetapi berdasarkan pada usaha atau upaya sebaik-baiknya (inspanningverbintenis). Jadi, jika sekiranya dokter telah bekerja dengan sebaik-baiknya berdasarkan standar profesinya dan mendapat izin dari pasien (informed consent), maka secara umum tidak ada tindak pelanggaran hukum. Namun dalam kenyataanya tidak semua dokter menelan bulat-bulat konsep pola hubungan inspanningverbintenis tersebut. Atau setidak-tidaknya, jika mereka sendiri yang menjadi 'korban' dari dokter atau rumah sakit lainnya, mereka menginginkan perlindungan layaknya konsumen 'biasa'.
Kriminolog Adrianus Meliala (1992) pernah menulis bahwa kekosongan hukum yang mengatur soal malpraktek adalah hambatan utama terhadap setiap proses hukum menyangkut kasus-kasus malpraktek. "Hambatan hukum yang menonjol, seperti telah disinggung, berupa adanya kekosongan hukum yang dapat dipakai sebagai dasar, untuk membuktikan suatu tindakan medis sebagai malpraktek," tulisnya.
Menurut Adrianus, bukan hanya masyarakat awam saja yang kurang memahami batasan antara malpraktek, pelanggaran kode etik kedokteran, atau tindak pidana, namun juga ahli hukum dan -- tidak terkecuali kalangan dokter sendiri. Artinya, MKEK bukanlah satu-satunya pihak yang kompeten dalam menentukan apakah telah terjadi malpraktek atau tidak. Harus ada pihak lain dari kalangan ahli hukum atau  kriminolog untuk mendampingi rekomendasi MKEK (Majelis Kode Etik Kedokteran).
Penegakan hukum kesehatan dan kaitannya dengan perlindungan pasien selaku konsumen, terdapat tiga unsur penting, yaitu:
1.    Aturan hukum yang mengatur mengenai profesi kesehatan
Saat ini telah banyak aturan yang  dikeluarkan oleh negara baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah di bidang pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk menjamin kepentingan penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum itu sendiri.
2.    Aparat penegak hukum
Fungsi aparat penegak hukum sangat oenting dari sudut profesionalisme kemampuan memahami aturan-aturan hukum dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen dan keberanian menerapkannya.
3.    Institusi hukumnya
Institusi yang dimaksud disini bukan saja lembaga-lembaga penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga-lembaga lainnya, tetapi termasuk institusi yang ada di dalam profesi kedokteran itu sendiri seperti Majelis Kode Etik Kedokteran dan institusi lainnya, termasuk lembaga-lembaga konsumen yang bergerak di bidang kesehatan.

·         Penanganan Pengaduan
Menyangkut pengaduan konsumen, dapat dilihat dari hak konsumen dalam Pasal 4 butir d UUPK mengenai hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
Menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan No.568/Menkes/Per/VI/1996 tanggal 5 Juni 1996, peserta (konsumen) berhak untuk mengajukan keluhan serta memperoleh penjelasan penyelesaian atas keluhan yang diajukannya, baik menyangkut pelanyanan badan penyelenggaraan maupun pemberi pelayanan kesehatan.
Penanganan pengaduan konsumen dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini:
a.    Ukuran/kriteria pelayanan – rumah sakit harus memiliki sikap keterbukaan dalam menerima keluhan konsumen sebagai masukan untuk memperbaiki kinerjanya.
b.    Pendekatan teknis-medis – yang dinilai bukan kesembuhan dari pasien tersebut namun prosedur pelayanan kesehatan tersebut sudah dilakukan sesuai dengan standar yang berlaku.
c.    Pendekatan hukum – penyelesaian melalui jalur hukum biasanya merupakan pilihan terakhir yang dipilih konsumen sebagai sarana pemulihan kekecewaannya karena merasa keluhannya tidak didengarkan.

BAB IV
PENUTUP*

* deleted.
DAFTAR PUSTAKA


  1. Literatur
·         Adji, Oemar Seno. Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter; 1991, Penebit Erlangga.
·         Nasution,Bahder Johan. Hukum Kesehatan, Pertanggungjawaban Dokter ; 2005, Penerbit Rineka Cipta.
·         Notoatmodjo, Soekidjo.Etika & Hukum Kesehatan; 2010, Penerbit Rineka Cipta.
·         Shopie, Yusuf. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia; 2007, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti
  1. Undang-Undang
·         UU RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
·         UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
·         UU RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

  1. Jurnal dan Internet
·         http://hukumonline.com, akses tanggal 24 Mei 2011.
·         http://hukum.kompasiana,com/2001/06/19/malpraktek-dokter-dan-kode-etik , disampaikan oleh Persi Imam Hilman pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia (Persi) pada 21-22 April 2001 , akses tanggal 24 Mei 2011.
 

[i]  Bahder Johan Nasution,2005,Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Penerbit Rineka Cipta, hal 61-89

[ii] Shopie, Yusuf. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia; 2007, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, hal 68

[iv] http://hukumonline.com, akses tanggal 24 Mei 2011
[v] http://hukum.kompasiana,com/2001/06/19/malpraktek-dokter-dan-kode-etik , disampaikan oleh Persi Imam Hilman pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia (Persi) pada 21-22 April 2001 , akses tanggal 24 Mei 2011
 

No comments: